Saturday, September 29, 2012

Meet me halfway: Family Business dan Suksesi.

Seorang teman komplain kepada saya bagaimana anaknya yang sudah lulus S2 dari Australia dan kembali, sekarang tidak mau membantu pekerjaannya. Bangun tidur jam sembilan, maunya di ruang ber AC, kerjanya hanya berinternet, BBM, dan jalan2 ke mall.

Dua dunia yang berbeda, sang bapak lulusan SMP dan mulai dari kepahitan di bawah, ilmunya adalah ilmu jalanan, dan kerja keras adalah keharusan. Makan tidak selalu tersedia, bersepeda kelilingan, toko dibuka jam 7 dan baru tutup setelah kelam malam. Kerja keras yang mampu mengirimkan anaknya sejak SD ke Singapore, lalu ke Australia. Harapannya anaknya tidaklah perlu sesusah dia dulu, menjadi orang yang pandai, dan punya jaminan keamanan sampai tua.

Sang anak memulai hidupnya dengan mobil Honda yang meningkat ke BMW, taunya kenyamanan dan kecukupan. Kuliah dengan ilmu tinggi, harapan menjadi profesional hebat, duduk di ruang bersih ber AC sebuah Bank terkenal, dengan memakai jas bermerek. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur.

Bagaimana mungkin dua dunia yang begitu berbeda dapat bertemu dengan nyaman, tanpa konflik dan gesekan? Ayah dan anak dengan latar belakang yang berbeda dan sudut pandang yang lain sama sekali?

Kegagalan dan kepahitan suksesi pada bisnis keluarga menjadi banyak gunjingan pengusaha sukses saat ini. Telah beberapa kali saya berseminar tentang hal ini, dan mencoba mencarikan "jalan tengah". Titik temu yang bisa dipakai sebagai awal perjalanan bersama.

Pertama perlu pemahaman kedua pihak, sang Bapak yang telah sukses pun perlu memahami bagaimana sang anak dibesarkan dengan lingkungan yang berbeda, dan jaman telah sangat berubah.

Sebaliknya sang anakpun harus mau mengakui dan mempelajari jalan sukses yang telah terbukti dari sang Ayah. Kesadaran dan saling menghargai akan menjadi awal yang baik.

Aturan main harus mulai dibuat, tugas apa yang harus dilakukan oleh sang anak, bagaimana kompensasinya, bagaimana jam kerjanya, mulai dari mana. Harus ada pertanggung jawaban jelas, beres tidaknya pekerjaan. Tergantung besar kecilnya usaha, dan seberapa besar pekerjaan yang ada, mulai dari tugas kecil ke tugas besar.

Harus ada kesabaran kedua pihak, dan sensitifitas pada orang2 sekeliling. Karyawan tua sahabat sang ayah yang lulusan SMA saja, tapi dominan dan "keminter"; kemauan anak untuk melakukan komputerisasi; sang ayang yang tidak pernah bisa meninggalkan kantor dan dipandang "kuno"; dan seterusnya. Dikompromikan satu2, diberikan ruang kedua pihak untuk saling menerima.

Peta rencana tidak mudah dibuat, tapi mau tidak mau harus di lakukan, dijadwalkan misalkan 5 atau 10 tahun untuk proses suksesi terjadi, mulai dari awal sang anak masuk sampai pelepasan pekerjaan sang ayah. Dan sebaiknya ada pihak ketiga, baik itu konsultan, ataupun sahabat yang dihormati ayah dan anak, sebagai penengah. Karena pasti akan ada konflik, pasti akan ada ketidak enakan, dan pasti akan ada kesulitan.

Sementara itu, bisnis jalan terus, rentan pada banyaknya masalah, banyak pesaing baru, produk baru, dan trend pelanggang yang bergeser terys. Kita harus tetap jalan berbisnis terus dan tidak boleh ada jeda.

*Tanadi Santoso