Buku-buku apakah yang anak kita sudah pernah baca, belum pernah baca, tertarik dan tidak tertarik untuk membaca? Sedikit banyak pilihannya akan dipengaruhi oleh buku-buku macam apa yang kita sediakan dan bacakan di rumah baginya. Dan, tentu saja, tidak semua buku sama mutunya. Dalam bahasa Charlotte Mason, ada buku yang sangat berkualitas dan punya potensi besar menggetarkan jiwa (living books), sebaliknya ada juga buku-buku picisan, dangkal, yang bahkan bisa merugikan perkembangan watak anak-anak kita (twaddles). Berikut ini saya tergerak untuk menerjemahkan (secara bebas) artikel menohok tulisan Kari Jenson Gold yang berjudul "Grim Tales" untuk memberi gambaran perbedaan antara living books dan twaddles.
KISAH-KISAH SURAM
oleh Kari Jenson Gold
[Kari membuka artikel ini dengan pengamatannya pada anak-anak TK yang bersemangat dan sibuk, difasilitasi penuh untuk mengembangkan berbagai bakat dan minat mereka, tetapi di sisi lain tidak banyak membaca atau dibacakan karya-karya sastra bermutu.]
Bagi kebanyakan anak, pengetahuan mereka tentang dongeng-dongeng klasik datang hanya dari Disney. Padahal versi Disney sedikit sekali kemiripannya dengan versi aslinya. Mari bandingkan dua versi alinea pembuka kisah Putri Duyung Kecil atau The Little Mermaid karya Hans Christian Andersen, yang satu adalah terjemahan dari Neil Philip yang setia pada versi aslinya, yang satu lagi dicuplik dari buku dan film Disney yang tersohor itu.
Jauh di tengah laut, air sebiru kelopak bunga sian yang tercantik dan sejernih kaca terbening, namun dalamnya lebih dalam daripada yang bisa diraih oleh jangkar mana pun. Puncak demi puncak menara gereja yang tak terhitung banyaknya harus ditumpuk satu di atas yang lain agar terbentang dari dasar laut sampai ke permukaan air. Di sanalah bangsa duyung hidup.
Ariel kini enam belas tahun, usia ketika putri duyung diharapkan mulai berpikir tentang menikahi putra duyung dan hidup mapan. Namun Ariel punya hal-hal lain dalam pikirannya.
Tebaklah yang mana terjemahan versi aslinya, yang mana versi Disney. Buku-buku Disney tidak pernah mencantumkan nama penulis aslinya (dalam kasus ini, Andersen), juga tak pernah menyebutkan siapa orang yang bertanggung jawab atas isi teks itu. Buku-buku ini hanya memberi kredit kepada Walt Disney Pictures dan tanpa basa-basi tampil sebagai alat pemasaran bagi film-film produksi mereka. Namun, seorang anak yang terus-menerus dijejali dengan diet bahasa yang banal dan miskin makna, nyaris tak bisa diharapkan menciptakan sesuatu selain kalimat-kalimat yang juga banal dan miskin makna.
Masih ada lagi masalah-masalah yang lebih mendasar. Misalnya, buku-buku Disney selalu menamai tokoh-tokohnya, termasuk si putri duyung kecil menjadi Ariel. Mengapa HC Andersen tidak menamai putri duyung dalam kisah yang ditulisnya? Mengapa sebagian tokoh dongeng klasik dinamai dan sebagian lagi tidak dinamai? Tentunya itu bukan kebetulan. Nama memunculkan perasaan 'sudah kenal' dan 'tentang dia'. Ariel tak beda dari gadis yang lain, seperti kau atau aku, gampang dipahami, bagian dari kita. Sementara, "sang putri duyung kecil" tetap menjadi sosok misterius, tapi bisa terasa lebih dekat di hati pembaca – bisa saja dia itu aku. Sebab dia tak punya nama, aku bebas memberinya nama apa saja. Karena tidak disebut bernama Ariel, dalam khayalanku, aku bisa menamainya dengan namaku. Karena tak bernama, hakikatnya menjadi misterius sekaligus universal. [Anak Indonesia bisa juga menamainya dengan nama Indonesia!]
Bahkan dari beberapa kalimat pembuka ini saja kita sudah bisa melihat pendiktean gagasan bekerja. Ariel tidak ingin menikah dengan putra duyung atau berumah tangga. Dia punya cita-cita yang lebih tinggi: rasa puas akan hidup, pemberdayaan diri, menemukan identitas ... Disney akan membantunya! Kontras sekali dengan penggambaran Andersen tentang putri duyungnya: "Dia seorang anak yang ganjil, pendiam dan pemikir ... dia barangkali ingin menangis, tapi putri duyung tak punya air mata, sehingga dia makin menderita lagi." Dalam versi Andersen, tokoh yang kompleks ini berada dalam situasi yang tak kalah kompleks. Si putri duyung rindu melihat segala hal di permukaan samudera. Ketika kesempatannya tiba, dia menyelamatkan seorang Pangeran yang mengalami karam kapal. Putri duyung jatuh cinta, tetapi karena dia bangsa duyung, dia harus kembali ke samudera. Dalam versi aslinya, putri duyung menanyai neneknya mengenai dunia di atas sana.
'Kalau manusia tidak tenggelam, apakah mereka akan hidup abadi?' tanyanya. 'Atau akankah mereka mati juga, seperti kita yang hidup di samudera?'
'Ya,' jawab neneknya, 'Mereka pasti mati. Dan hidup mereka jauh lebih pendek ketimbang kita. Kita bisa hidup tiga ratus tahun, tetapi akhirnya kita akan kembali menjadi buih di lautan .... Kita tak punya jiwa yang kekal; tak ada kehidupan berikutnya bagi kita. Kita bagaikan gelagah hijau – sekali dipangkas, tak akan pernah menjadi hijau kembali. Namun manusia punya jiwa yang hidup selama-lamanya, bahkan setelah jasad mereka menjadi debu .... Hanya apabila ada manusia yang mencintaimu lebih daripada ayah dan ibunya, dan mengijinkan pendeta menjabatkan tangan kanannya ke dalam tangan kananmu, sementara dia berjanji untuk setia padamu dalam keabadian, barulah jiwanya akan terbang memasuki dirimu, dan kau akan ikut serta dalam kebahagiaan manusiawi. Dia akan memberimu jiwa, tanpa kehilangan jiwanya sendiri.'
Untuk memenangkan cinta sang Pangeran dan memperoleh jiwa yang baka, si putri duyung bertekad mendatangi Penyihir Laut. Dia menukarkan suaranya yang indah dengan dua kaki, sekalipun Penyihir Laut telah memperingatkannya bahwa kalau dia gagal dalam upayanya, dan Pangeran menikahi gadis lain, hatinya "akan hancur dan [dia] akan menjadi tak lebih dari buih di laut."
Bisa ditebak, tak disebutkan sedikit pun soal jiwa yang baka, buih laut, keabadian, pendeta, atau bahkan [sakralnya] pernikahan dalam buku Disney. Alih-alih, Ariel si gadis progresif itu duduk menangis di kamar istana lautnya, ketika Penyihir (yang telah dinamai Ursula) muncul untuk mencobainya. "Tanda tanganilah kontrak ini. Tertulis, aku sepakat untuk menjadikanmu manusia selama tiga hari ... Jika, setelah tiga hari, Pangeran Eric tidak mencintaimu, belum menciummu ... kau jadi milikku!" Perhatikan bagaimana pertaruhannya telah disempitkan: lakon perempuan kita sekarang cuma perlu satu ciuman. Bukan hanya versi baru yang 'telah diperbaiki' ini melenyapkan sebagian besar penjelasan tentang motivasi pengorbanan sang putri duyung, tapi juga meniadakan aspek pilihan dan upaya sadarnya untuk mendatangi Penyihir Laut. Disney mengubah Ariel menjadi gadis galau kebanyakan yang haus akan kasih sayang.
Dalam bagian penutup versi aslinya, Pangeran menikahi gadis lain karena dia keliru menganggap gadis itulah yang telah menyelamatkannya sewaktu badai. (Putri duyung yang telah kehilangan suara tak bisa bercerita bahwa dialah yang sebetulnya telah menarik Pangeran ke tempat yang aman.) Lalu muncullah saudari-saudari duyungnya untuk memberi adik mereka satu kesempatan terakhir. "Kami telah menyerahkan rambut kami kepada Penyihir Laut, supaya dia mau membantu kami menyelamatkan nyawamu. Dia telah memberi kami pisau ini. Lihat betapa tajamnya! Sebelum matahari terbit, kau harus menghunjamkannya ke dalam jantung Pangeran. Ketika darahnya yang hangat menciprati kakimu, kedua kaki itu akan bergabung kembali menjadi ekor ikan, dan kau sekali lagi akan menjadi putri duyung." Namun, melihat Pangeran yang terlelap bersama mempelainya, Putri Duyung mencium keningnya dan melemparkan pisau itu ke lautan. Dia terjun ke dalam samudera berharap untuk mati, tetapi ternyata disambut oleh ratusan makhluk transparan, anak-anak udara. "Putri Duyung malang, kau telah berusaha sekuat hati. Kau telah menderita dan tetap bertahan, dan telah mengangkat dirimu ke dunia roh di udara. Kini, lewat tiga ratus tahun amal baik, kau bisa menjadikan dirimu jiwa yang abadi.' Kemudian putri duyung mengangkat tangannya yang tembus pandang ke arah matahari dan untuk pertama kali dalam hidupnya, dia meneteskan air mata.
Akhir cerita Disney, jika dikontraskan, boleh dibilang menggelikan: Ariel mendapatkan kembali suaranya dari sejumlah burung pada momen genting; Ursula muncul lagi untuk merebut Ariel dari Eric; Eric membunuh Ursulla, dan mereka berdua hidup bahagia selama-lamanya. Tak ada pergumulan, tak ada pilihan, tak ada pengorbanan, tak ada kesedihan, tak ada penebusan, tak ada kebenaran. Dan bahasanya sangat ala kadarnya. Seperti inilah jenis buku yang sering kita pakai untuk membesarkan anak-anak kita.
[Kari Jenson Gold lalu melanjutkan dengan beberapa contoh kasus lain yang menunjukkan bahwa yang 'bersalah' mendangkalkan karya-karya klasik sastra anak bukan hanya Disney. Mulai dari teater boneka sampai kelas apresiasi sastra dan koleksi perpustakaan sekolah, banyak yang terjebak dalam kesalahan yang sama. Mutu bahasa direndahkan, kejiwaan tokoh disederhanakan, alur cerita dibuat mudah, topik yang dianggap terlalu sulit atau suram dihindari, dan sejenisnya.]
Para orangtua senantiasa mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap konten kekerasan dan kematian, atau apa pun yang dianggap seram, dan melakukan banyak upaya sensor di rumah. Ada yang membatasi tayangan TV. Ada yang melarang junk food. Ini tipe orangtua yang waspada dan peduli. Tapi sepertinya masih sedikit yang sama prihatinnya pada bahaya dari cerita-cerita dangkal dan buku-buku picisan. Anak-anak butuh mendengarkan bahasa yang indah, supaya nantinya mereka bisa berbicara dan menulis dengan indah. Mereka perlu menyimak kisah-kisah tentang cinta, keberanian, sukacita dan dukacita agar imajinasi mereka berkobar dan hati mereka meluas. Mereka perlu dibacakan bahasa unik Rudyard Kipling, bahasa puitis AA Milne, bahasa sendu Oscar Wilde, bahasa misterius Hans Christian Andersen, bahasa bijak EB White, bahasa mencekam Grimm bersaudara, bahasa liar Dr. Seuss ... dan banyak lagi karya sastra anak yang mengagumkan.
Anak-anak sekarang cuma punya waktu sedikit untuk membaca di tengah jadwal harian mereka yang sibuk. Maka ketika mereka membaca atau menyimak, biarlah apa yang kita sajikan layak bagi jiwa dan benak mereka yang penuh hasrat ingin tahu dan rasa heran.
SUMBER:
Gold, Kari Jenson "Grim Tales." First Things 106 (October 2000): 17-19. Kari Jenson Gold adalah penulis yang tinggal di New York. Hak cipta © 2000 First Things