Thursday, May 20, 2021

KANTONG BERLUBANG


Ada  rahasia dari seseorang yang sangat menikmati kebahagiaan dan ketenangan dalam hidupnya.

Orang tersebut mempunyai dua kantong. 
Pada kantong yang satu terdapat lubang di bawahnya, tetapi pada kantong yang lainnya tidak terdapat lubang.

Segala sesuatu yang MENYAKITKAN yang pernah didengarnya seperti kata2 makian, sindiran, gosip, dan kata2 kotor, ditulisnya di sebuah kertas, digulung kecil, kemudian dimasukkannya ke dalam kantong yang BERLUBANG.

Tetapi semua yang INDAH, semua yang benar, semua yang menyukakan hati dan bermanfaat, ditulisnya di sebuah kertas kemudian dimasukkannya ke dalam kantong yang TIDAK ADA LUBANGNYA

Pada malam hari, ia mengeluarkan semua yang ada di dalam saku yang tidak berlubang, membacanya dan menikmati hal2 indah yang sudah diperolehnya sepanjang hari itu.

Kemudian ia merogoh kantong yang ada lubangnya, tetapi ia tidak menemukan sesuatu. 
Iapun tertawa dan tetap bersukacita karena kantong tersebut tidak ada sesuatu yang dapat merusak hati dan jiwanya.

Itulah yang seharusnya kita lakukan. Menyimpan semua yang BAIK di kantong yang TIDAK BERLUBANG, sehingga tidak satupun yang baik yang hilang dari hidup kita.

S e b a l i k n y a simpanlah semua yang BURUK di kantong yang BERLUBANG, dimanapun yang buruk itu akan jatuh tercecer dan tidak dapat kita ingat lagi.

N a m u n sayang sekali, begitu banyak diantara kita yang melakukan dengan TERBALIK... 

Menyimpan semua yang baik di kantong yg berlubang, dan apa yang tidak baik di kantong yang tidak berlubang.

Memelihara pikiran2 jahat dan segala sesuatu yang menyakitkan hati, hanya akan membuat kita tidak bisa menikmati kebahagiaan hidup.

Jiwa menjadi tertekan dan tidak ada gairah dlm menjalani kehidupan.

Wednesday, May 19, 2021

Cerita di balik lukisan "TANGAN BERDOA"


"Lukisan Tangan Berdoa", sering kita lihat di sticker postingan grup WA , ternyata adalah lukisan *Albrecht Durer* yang luar biasa; membuat orang terkesan dengan gambar tangan ini, bahkan sebelum mendengar kisahnya.
Tak heran Michel Angelo pernah berkata: "Saya rela mati demi meninggalkan karya yang besar" dan William James berkata: "Kalau anda mau mati meninggalkan karya yang besar tinggalkanlah karya yang abadi." Tetapi apa itu yang abadi?

Nah, sekarang ingin tahu cerita di balik lukisan tangan berdoa? Inilah kisahnya:

Di sebuah desa kecil dekat Nürnberg, Jerman, di abad 15, hiduplah sebuah keluarga dengan anak-anaknya yang berjumlah 18orang. Ya, delapan belas! Sang ayah, seorang pedagang emas, bekerja hampir delapan belas jam sehari di tokonya untuk menghidupi keluarganya. Apa saja yang berguna dan menghasilkan uang ia kerjakan.

Walaupun kondisi keluarga itu Senin-Kemis, nyaris tanpa harapan, dua anak sulungnya mempunyai cita-cita tinggi. Albrecht Durer dan adiknya Albert Durer bercita-cita suatu saat kelak mereka akan menjadi seniman terkenal, kuliah di akademi tinggi di Nürnberg, walau pun mereka tahu ayah mereka secara finansial tidak akan mampu membiayai kuliah di sana.

Setelah diskusi yang panjang di suatu malam di tempat tidur mereka yang penuh sesak, kedua anak laki-laki tertua ini akhirnya membuat kesepakatan. Mereka akan melemparkan sebuah koin. Yang menang dialah yang melanjutkan studi ke akademi untuk mengejar impian menjadi seniman terkenal. Yang kalah akan tetap tinggal di kampung halaman, bekerja di pertambangan di dekat rumah mereka, dan dengan penghasilannya dari bekerja itu, membiayai kuliah saudaranya yang akan menjadi seniman hebat. Diharapkan, setelah kuliah empat tahun, sang seniman besar itu sudah bisa kembali dan membiayai adik-adiknya yang lain.

Mereka melemparkan koin. Hasilnya? Albrecht Durer memenangkan undian dan kuliah ke akademi di Nürnberg. Albert tinggal di kampung dan bekerja sebagai buruh tambang, pekerjaan yang cukup berbahaya kala itu. Selama empat tahun ke depan, ia membiayai saudaranya yang menempuh pendidikan di akademi.

Di akademi, Albrecht ternyata menjadi bintang. Lukisan-lukisannya, ukiran kayunya dan lukisan minyaknya jauh lebih baik daripada karya para profesornya. Dan pada saat ia lulus, ia mendapat cukup banyak uang atas karya-karyanya.

Ketika seniman muda itu kemudian kembali ke desanya, keluarga Durer mengadakan pesta makan malam di halaman rumah mereka untuk merayakan kepulangan Albrecht. Setelah makan malam yang panjang dan berkesan, diselingi dengan musik dan tawa, Albrecht bangkit dari posisi terhormat di ujung meja untuk minum bersulang bagi adik tercintanya, atas tahun-tahun pengorbanan yang memungkinkan Albrecht memenuhi ambisinya. Di akhir pidatonya, Albrecht berkata, "Sekarang, Albert, saudaraku yang sangat disayangi Tuhan, giliranmu lah. Sekarang engkau sudah punya kesempatan berangkat ke akademi di Nürnberg untuk mengejar impianmu, dan saya akan mengurus semua yang kau perlukan."

Semua kepala berpaling ke ujung meja tempat Albert duduk. Air mata mengalir di wajahnya yang pucat, menggelengkan kepalanya sementara ia menangis dan  berkata berulang-ulang, "Tidak … tidak .. tidak …. tidak." Albert bangkit dan menyeka air mata dari pipinya. Dia melirik ke meja panjang di wajah-wajah yang dicintainya, dan kemudian, memegang tangannya dekat dengan pipi kanan, ia berkata pelan, "Tidak, saudaraku, saya tidak bisa pergi ke Nürnberg. Sudah terlambat untuk saya. Lihatlah … lihat apa yang saya dapatkan selama empat tahun bekerja di tambang. Tulang di setiap jari saya telah hancur. Dan akhir-akhir ini saya telah menderita rheumatoid begitu parah di tangan kanan saya, sehingga untuk memegang gelas dan bersulang kembali untuk mu pun aku tak bisa. Apalagi untuk memegang kuas dan melukis garis-garis halus di kanvas. Bagi saya itu sudah terlambat."

Kini, hampir lima abad sudah berlalu. Ribuan lukisan potret dan karya lainnya dari Albrecht Durer telah beredar dan menghiasi banyak dinding dan ruang di seluruh dunia. Dan hampir dapat dipastikan, sebagian besar orang pernah melihat, bahkan mungkin memiliki reproduksi dari salah satu lukisannya yg sangat terkenal, yakni gambar yg diberi judul: "The Praying Hands." Tangan yg berdoa..

Berikut sejarah di balik gambar itu. Suatu hari, untuk memberi penghormatan kepada Albert atas semua yang telah dikorbankannya, Albrecht Durer dengan susah payah menghela tangan adiknya itu, meluruskan jari-jarinya dan kemudian melukisnya. Ia memberi judul lukisan itu "Hands," tetapi seluruh dunia melihat lukisan itu jauh dari sekadar 'Hands' melainkan suatu persembahan cinta yang tulus, tangan yang berkorban dan memohon. Itu lah sebabnya ia lebih terkenal dengan judul "The Praying Hands." Tangan yang bekerja, berkorban demi mewujudkan sebuah cita-cita dan doa. Itu lah Tangan yang Berdoa. 🙏🏻