Dulu sekali (seperti cara ibuku kalau membuka dongengannya), aku sedang makan di sebuah warung kecil. Saat sedang menikmati makanan ada seorang pemuda masuk. Dari penampilannya jelas dia seorang pengamen jalanan, seperti anak-anakku di rumah singgah. Dia memesan nasi dan lauk. Minta dibungkus. Setelah menerima nasi yang sudah dibungkus, dia mengeluarkan semua uang yang ada di sakunya. Dua saku celana dan saku baju. Uang koin 100, 200 dan 500 an. Setelah dihitung ternyata hanya ada 3,800. Padahal harga nasi dan es teh 6,000. Ibu penjual nasi marah. Mendengar itu aku dengan bangga mengatakan nanti aku yang menambah kekurangannya. Aku membayangkan diriku sudah menjadi pahlawan. Orang yang penuh belas kasih.
Setelah pemuda itu pergi, ibu penjual masih mengomel. Dia mengatakan anak itu setiap hari membeli tapi sering uangnya kurang. Sambil makan aku mendengarkan omelan ibu itu. Selesai makan aku naik motor mau melanjutkan perjalanan. Di traffic light yang tidak jauh dari warung aku melihat pemuda itu mengamen dari mobil ke mobil. Aku mencari tempat yang aman untuk memparkir motor. Aku bermaksud mengajak anak itu untuk tinggal di rumah singgah.
Saat dia sedang berdiri di tepi jalan aku menghampirinya.
Mendengar cerita itu aku seperti ditampar keras. Runtuhlah kesombonganku seolah aku sudah hebat dengan sumbangan sebesar 2,200 untuk nasi bungkus tadi, padahal pemuda itu setiap hari memberi semua penghasilannya.
Kadang kala kita merasa sudah banyak memberi. Bahkan tidak jarang pamer kalau sudah memberi. Padahal ada banyak orang yang memberi jauh lebih besar dari yang kita lakukan. Yesus memuji persembahan janda miskin yang hanya 2 peser dibandingkan penyumbang-peny