31Juli2019
Usai rapat di sebuah bank, saya mendesak untuk menghadiri rapat disuatu hotel. Karena Jakarta memang ketika sore selalu macet, maka saya memilih naik ojek yang berada dikawasan Benhil. Tukang Ojek itu belum terlalu tua namun nampak tua karena himpitan kehidupan keras dibelantara kota Jakarta.
" Kemana tujuannya , pak " katanya dengan ramah
" Borobudur Hotel"
" Baik, pak.", katanya sambil menyerahkan helm untuk saya pakai.
Ketika berbelok kearah Sudirman , dalam kecepatan tidak begitu tinggi motor itu menyentuh roda depan sebelah kiri kendaraan sedan mewah disampingnya. Seketika motor itu oleng. Saya bisa merasakan tukang ojek itu tak bisa lagi mengendalikan motornya dan terjatuh menabrak trotoar. Untunglah kami tidak ada yang luka. Hanya stang motor itu bengkok. Nampak wajah sedih tukang ojek itu memperhatikan keadaan motornya. Dalam situasi itu, pemilik kendaraan keluar dari mobil.
" Mau cari mati kamu...!. ", teriak pengendara mobil mewah itu seraya menarik kerah baju tukang ojek itu yang nampak tak melakukan perlawanan apapun. Dia hanya menunduk. Setelah membentak Tukang Ojek itu, pengendara itu melihat kearah depan kendaraannya. Nampak kesal karena ada goresan sedikit. Kembali pengendara itu menghampiri tukang ojek
" Kamu tahu kamu salah, heh...!!!" , kata pengendara itu dengan ketus. " Lihat akibat perbuatan kamu yang sok jagoan motong dari sebelah kiri pas belokan, kendaraan saya lecet. Apa ada uang kamu untuk perbaiki?. Dasar goblok, bodoh. Kalau mau mati mati aja sendiri. Kalau susah jangan bawa bawa orang , tahu !", lanjutnya dengan suara keras.
Tukang ojek itu tidak menjawab. Hanya diam menunduk sambil memperhatikan stang motornya yang bengkok. Semua itu saya perhatikan dengan seksama sampai pengendara itu masuk kembali kedalam kendaraan dan berlalu.
Saya tahu bahwa tukang ojek itu salah. Saya juga tahu bahwa pengendara mobil mewah itu benar. Tapi bagaimanapun tidak ada yang menginginkan kecelakaan terjadi. Tidak ada...!
Pada situasi ini, saya berharap pengendara mobil dapat bijak. Setidaknya dengan kata kata yang lembut tanpa harus mengeluarkan kata kata bernada keras. Tapi ya sudahlah semua telah terjadi. TInggal kini, saya dan tukang ojek itu. Sebetulnya saya bisa segera naik taksi untuk melanjutkan perjalanan saya dan melupakan tukang ojek itu, namun melihat wajah tukang ojek itu membuat saya terenyuh. Apalagi dia terduduk disamping kendaraannya dengan tatapan kosong.
" Kamu tidak apa apa kan ?, tanya saya lembut
" Enggak apa apa Pak. Saya minta maaf karena sudah hampir membuat bapak celaka" , katanya.
" Enggak perlu minta maaf. Ini kecelakaan. Semua orang bisa saja mengalaminya. Yang penting kita selamat tidak kurang apapun. "
" Ya sebetulnya saya sedang bingung waktu bawa motor tadi. "
" Bingung kenapa?".
" Anak saya yang tamat SD tahun lalu belum bisa masuk SMP karena tidak ada uang. Adiknya tahun ini akan tamat SD, entah gimana kelanjutannya nasib keluarga saya. Sejak di PHK di pabrik, saya berusaha cari kerjaan tapi engga berhasil. Hanya ngojek inilah pencarian saya.", katanya.
Nampak wajah putus asa...
" Dengan keadaan motor seperti ini, saya tidak tahu apakah pemilik motor masih mau sewain kesaya" , sambungnya.
" Oh, jadi motor ini punya orang lain ? "
" Ya pak. Saya sewa harian dari pemiliknya. "
" Berapa penghasilan kamu sehari "
" Paling banyak Rp. 30.000 yang bisa saya bawa pulang menghidupi istri dan dua anak. ", katanya.
Terbayang oleh saya harga secangkir hot cappuccino di Starbucks seharga Rp. 36.000 yang hanya habis sekali minum... namun tukang ojek ini mendapatkan uang sebanyak itu harus berlelah seharian dan kadang mengambil resiko tersambar atau menyambar kendaraan lain.
" Kamu tamatan apa sekolahnya ".
" Hanya SMA pak. "
Saya terhenyak. Memang tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk tamatan SMU pada era sekarang. Dihadapan saya ada seorang ayah, juga suami. Dia sama dengan saya . Yang mempunyai tanggung jawab karena lembaga keluarga tercipta dari dua kalimat sahadat. Saya memang lagi sulit namun saya masih punya harapan. Sementara dia, lelah dan kalah juga dikalahkan oleh keadaan. Perjalanan hidupnya masih panjang dan beban yang pasti membawa dia dalam kelam. Empati saya larut dan juga malu pada diri saya sendiri bila pada momen ini saya tidak bisa berbuat sesuatu untuk dia.
" Berapa biaya perbaiki stang motor ini? Tanya saya karena ingin segera pergi kawatir terlambat untuk rapat.
" Maksud bapak ?
" Saya akan kasih kamu uang untuk perbaiki motor ini "
" Enggak perlu pak. Lagian ini salah saya. "
" Ok, lah. Saya kasih kamu uang saja. Perbaiki motornya ya.", kata saya sambil menyerahkan uang Rp. 1 juta rupiah. Karena kebetulan tadi sebelum berangkat saya mampir ke ATM untuk ambil uang tunai .
Dia nampak berlinang air mata ketika menerima uang dari saya...
Didalam taksi saya termenung. Peristiwa baru saja terjadi telah menyadarkan saya. Tukang ojek itu adalah cermin dari sebagian besar penduduk republik ini. Mereka bergerak ditengah kemegawahan kota metropolitan. Ditengah kehebatan data statistik tentang pertumbuhan ekonomi nasional dan harapan akan masa depan gilang gemilang sebagai Negara dengan GNP diatas USD 500 miliar . Setiap hari tukang ojek itu menyaksikan kesibukan kapitalis dari kelompok menengah yang semakin pongah. Dia diam menatap itu semua.
Bagi dia , apa yang bisa diharapkan sebagai buruh ojek yang tidak punya motor sendiri.
Apa yang bisa diharapkan oleh buruh tani yang tidak punya tanah sendiri?.
Apa yang bisa diharapkan oleh buruh nelayan yang tidak punya kapal motor sendiri?.
Tidak ada harapan!.
Kecuali mengisi hari hari untuk bertahan hidup. Semoga kelak lahir pemimpin peduli kepada mereka dan memberi harapan..
Padahal harapan adalah sesuatu yang baik. Bahkan sangat baik. Karena sebuah harapan membuat kita bergairah hidup dan tak kenal lelah untuk menggapainya. Walau karena itu kita harus menghadapi banyak rintangan dan ketidak pastian. Namun tidak bagi mereka. Harapan telah sirna seiring semakin pongahnya kelompok menengah, saya tidak tahu bagaimana hidup tanpa harapan. Tak ada titik terang kecuali melewati hari hari seperti biasa sampai akhirnya berhenti dan selesai, ketika ajal menjemput.
***
Beberapa bulan kemudian ketika saya usai makan siang di Benhil setelah menyelesaikan keperluan di Bank, seseorang menegur saya dan berusaha meraih tangan saya untuk bersalaman.
" Masih ingat saya pak ? , tanyanya
Saya berusaha mengingat tapi tetap saya lupa. Namun saya berusaha tersenyum
" Ingat tiga bulan lalu bapak naik ojek saya dan kecelakaan, dan bapak kasih saya uang", katanya berusaha mengingatkan saya.
" Oh...ya. Saya ingat. Gimana kabarnya " Segera saya ingat ketika dia berkata soal kecelakaan.
" Alhamdulillah. Dengan uang yang bapak kasih Rp 1 juta itu saya gunakan untuk membayar uang muka beli motor dan selanjutnya saya akan mencicil. Biaya cicilannya masih lebih rendah dibanding saya bayar uang sewa . " katanya dengan berwajah cerah.
" Berkat motor cicilan ini, saya bisa bisa memasukan kedua anak saya ke SMP. " , sambungnnya.
" Alhamdulillah" , kata saya tersenyum
" Dengan kedua anak saya bisa sekolah, saya dan istri bisa berharap akan masa depan. TIdak ada masalah bila kini kami harus hidup serba kekurangan . Saya akan kerja keras agar anak anak saya bisa terus sekolah sampai perguruan tinggi. Mereka harapn saya pak…"
Dia merangkul saya, " Terimakasih pak, sudah memberikan harapan untuk saya…" , katanya sambil berbisik.
Tanpa disadari uang Rp. 1 juta yang tiga bulan lalu saya berikan dengan ikhlas ternyata itu sebuah harapan bagi tukang ojek. Saya tahu tidak mudah bagi dia melewati hidup yang keras. Tapi semangatnya sudah cukup meyakinkan saya bahwa dia akan baik baik saja. Karena dia ada semangat. Hidupnya kembali bergairah. Lewat peristiwa kecelakaan dan tukang ojek itu, sebetulnya Allah sedang berdialog dengan saya dan juga kita semua yang berada di middle class.
Mungkin kegemaran kita berkosumsi dan memanjakan diri, menelan ongkos kadang lebih dari Rp. 1 juta sehari. Tidak ada value kecuali sekedar memenuhi keinginan yang tak terpuaskan. Padahal andaikan kita mau menahan selera dan menebarkan kekuatan konsumsi untuk berbagi kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan, maka sebetulnya kita telah menebarkan HARAPAN yang kebanyakan telah sirna bagi simiskin.
Jangan biarkan mereka jatuh kedalam kelam, jangan...Siapa lagi yang mereka harapkan kalau bukan kita yang berlebih. Karena itulah Allah menciptakan kita untuk menebarkan keadilan bagi mereka yang duafha. Kehidupan bukanlah apa yang kita pikirkan tapi apa yang kita perbuat walau hanya sebatang lilin yang bisa menerangi gelap mereka.
Membangkitkan harapan orang lain adalah perbuatan cinta. Ya, walau hanya sebatang lilin , setidaknya kita telah menghapus kelam bagi mereka untuk sebuah harapan dalam ruang yang gelap..
Tahun 2012
Buku harianku...
Babo_Elizar Bandaro Elizar