Luka
Diujung sebuah jalan antah berantah, dimana gagak dengan angkuhnya menatap awan, dimana matahari merendamkan diri kedalam batas gunung, ada sebuah kedai unik yang hanya membolehkan orang dengan bekas luka untuk masuk kedalamnya. Café Codet adalah tempat minum orang2 yang pernah "terluka".
Penjaganya seorang kekar gemuk bertatoo dengan luka bakar pada wajahnya, menolaki orang2 "utuh" yang mau masuk. Ketika dengan ragu2 kutunjukkan bekas jaitan panjang diperutku, dia mengangguk dan diijinkanlah aku masuk.
Dengan sedikit tidak nyaman aku awasi orang2 disana: Ada lelaki bertangan satu, wanita tua gundul dengan bekas jaitan operasi otaknya, dan anak separuh baya yang kedua kakinya telah diganti kayu. Seramnya ruangan, membuat codet besar memanjang dari mata kebibir dimuka bartender-pun terasa normal.
Kupilih duduk disamping wanita setengah baya yang kelihatan utuh. Ketika bir datang, basa basi kusapa dia, sambil bertanya: Bagaimana lukamu? Dengan senyum pahit dibukanya dua kancing blusnya dan ditunjukkan bekas luka jahitan gelap pada tempat dimana dulunya berada payudara. Airmukaku berubah, dan dia tertawa sambil menenggak habis sisa minumannya.
Sore itu, pelahan aku mulai melihat kehidupan dengan kaca mata yang berbeda. Ah, hidup ternyata penuh luka, pikirku. Betapa banyaknya kegetiran yang telah melanda mereka. Dan ketika aku keluar dari Café Codet, kuusap pelan2 bekas lukaku yang menyanyikan lagu syukur.
**
Luka adalah bagian dari kehidupan, bekas sisa kepahitan yang membekas. Setiap orang memilikinya, sebagian adalah bekas lama, sebagian adalah bekas baru, bahkan mungkin sekarang luka itu masih menganga lebar bernanah. Luka membawa kepahitan, baik fisik ataupun jiwa. Melalui kepahitan kita belajar menjadi lebih bersyukur dan tabah dalam menjalani perjalanan kehidupan.
Kepahitan setidaknya mengajarkan kita empat hal, kata pendeta Tibet: kearifan, ketabahan, kasih sayang, dan rasa hormat pada kenyataan. Selamat menikmati codet anda.
*Tanadi Santoso